Roda Pendere: Kisah Penggiling Padi Made in Jepang di Gayo


\\Oleh derasnya air sungai Peusangan,  roda-roda tua itu telah berputar sejak berpuluh tahun lalu.  Mengupas padi menjadi beras..  Ide awalnya dari seorang tentara Jepang yang sengaja menetap di dataran tinggi Gayo, Takengon sekitar awal tahun 1945. Sulit mencari nama asli orang Jepang ini Warga Gayo Takengon kemudian menyebutnya “Jepang Taring”. Taring, dalam bahasa Indonesia berarti tinggal\\

Kemajuan teknologi modern tak selama dapat menggantikan peran alat-alat tradisional bikinan orang-orang tempoe doeloe. Buktinya, saat ini masih digunakannya dua mesin penggiling padi tradisional di daerah Aceh Tengah. Milik keluarga Haji Aman Limpah di Kampung Remesen Silih Nara dan milik keluarga Haji Aman Payung di Kampung Uning Kecamatan Pegasing. Kedua mesin penggilingan padi tersebut masih aktif dan berproduksi dengan baik meski sudah berusia puluhan tahun. Dari pengolahan mesin itu dihasilkan sekam dan dedak.   ”Cara kerja mesin pemecah padi ini sangat ekonomis dan ramah lingkungan,” kata H. Taharuddin Aman Nona, ahli waris Aman Payung. 

Caranya, sebagian Air dari sungai Peusangan dialirkan melalui sebuah Long (parit) berukuran lebar 1,5 meter dengan kedalaman satu meter. Air itu diarahkan ke sebuah roda (cerka) Bentuknya seperti kipas.  Hempasan air akan memutar roda yang telah dikaitkan dengan penghubung melalui tali ban. Diperlukan empat rangkaian roda penghubung hingga sampai ke alat pengupas padi dan berakhir di alat pembersih beras. 

Padi yang telah siap digiling dimasukkan ke dalam alat pengupas. Lalu dimasukkan ke dalam alat pembersih. Padi akan dipisahkan menjadi tiga bagian, yaitu beras, sekam dan dedak.  

Dalam sehari, mesin tradisional itu mampu menggiling padi sebanyak dua hingga tiga kunca, atau 75 kaleng. ”Itu artinya 550 kilogram padi,” kata Aman Nona. Dalam satu kunca, beras yang dihasilkan sebayak 21 bambu. Selain beras, dalam satu kunca padi yang telah digiling juga akan menghasilkan dua karung dedak. Tiap karung seberat 60 kilogram.

Untuk menjalankan mesin penggiling padi itu, Aman Nona memperkerjakan lima penduduk setempat. Mereka diupah sama rata, Rp.600 ribu per bulan, ditambah tunjangan beras 2 kaleng tiap bulan. Setiap harinya, para pekerja juga diberi uang rokok Rp.5.000 per hari. Penghasilan ini belum termasuk penjualan dedak yang diberikan sepenuhnya kepada pekerja untuk mengelolanya. Bila musim panen penghasilan pekerja malah lebih besar dari gaji yang diterima.

Untuk mengunakan mesin penggiling padi Aman Nona, para petani perlu mengeluarkan Rp 30 ribu per kunca. Bisa juga dibayarkan dengan beras, yaitu sebanyak tiga bambu per kunca. Selaku umat Islam, tiap tahun H. Taharuddin Aman Nona mengeluarkan zakat penghasilannya Rp 3 juta. Dan bila jumlah ini adalah 2,5 % dari penghasilan, maka dapat ditaksir, penghasilan Aman Nona dari jasa penggilingan ini adalah Rp120 juta per tahun.

Sebelum mengelola mesin penggiling padi, Aman Nona adalah salah seorang PNS Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Aceh. Pada tahun 1968 ia berhenti dari PNS, dan kemudian memilih mengelola roda penggilingan padi Aman Payung.

Pembuatan mesin penggilingan padi tradisional yang memanfaatkan derasnya arus sungai Peusangan diilhami dari alat penumbuk padi tradisional Gayo jaman dulu yang juga memanfaatkan tenaga air. Ide awalnya datang dari seorang bekas serdadu Jepang yang menetap di Takengon. Saat itu, masyarakat menyebut bekas serdadu itu dengan panggilan ”Jepang Taring”. Taring adalah bahasa Gayo yang berarti tinggal. Masyarakat memberi nama Umar kepada si Jepang Taring itu.

Suatu ketika si Jepang Taring menawarkan jasa untuk merancang dan membuat alat penggiling padi dengan mengunakan tenaga air. ”Di negara saya penggiling padi mengunakan tenaga air,” kata si Jepang Taring menyakinkan masyarakat. Tawaran itu disampaikan kepada Aman Limpah, tokoh masyarakat disana.

Sebelumya, sebagai alat penumbuk padi, Aman Limpah telah membuat roda penumbuk padi yang juga memanfaatkan aliran air sungai Peusangan. Tapi kali ini, Jepang Taring mengusulkan agar dibuat sebuah mesin penggiling padi yang lebih modern, hemat biaya pembuatan, dengan hasil produksi yang lebih banyak.

Aman Limpah menerima saran dan tawaran itu. Tidak sampai hitungan dua belas bulan, tepatnya pada tahun 1959, Jepang Taring berhasil menyelesaikan pembuatan alat penggiling padi mengunakan tenaga air. Tentu pembuatannya tak dikerjakan Jepan Taring seorang diri. Ia dibantu oleh masyarakat sekitar.

Mesin penggiling padi kemudian dioperasikan di kampung Remesen kecamatan Silih Nara, 17 km dari kota Takengon, Aceh Tengah. Masyarakat mengenal mesin itu dengan sebutan Roda Aman Limpah. Banyak petani yang mendapat kemudahan dari mesin made in “Jepang Taring” itu.

Sukses di Remesen, Jepang Taring kemudian mendapat tawaran untuk mengerjakan satu lagi mesin penggiling padi bertenaga air. Tawaran itu datang dari Aman Payung, tokoh masyarakat dari Kampung Uning, Kecamatan Pegasing. Pada tahun 1960, Jepang Taring berhasil menyelesaikan mesin penggiling padi yang diberi nama Roda Aman Payung.   Mesin itu menerima jasa penggilingan padi dari petani di sekitarnya terutama dari kampung-kampung dalam Kecamatan Pegasing, Celala dan Silih Nara.

Tujuh tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1967, direncanakanlah pembuatan mesin penggiling padi raksasa. Ide itu datang dari Haji Aman Kuba, seorang hartawan yang dermawan dari Aceh Tengah.

Tak tanggung-tanggung, sebagai modal menciptakan mesin penggiling raksasa itu, Aman Kuba bersedia menjual 12 unit truk Dodge dan Vargo miliknya. Ia memang menaruh harapan besar kepada Jepang Taring. Sukses di dua desa sebelumnya telah menyakinkan dirinya untuk memberi modal yang besar kepada Jepang Taring menyelesaikan sebuah mesin penggiling raksasa. Mesin itu ditempatkan di Pendere Saril kecamatan Bebesen.

Hanya dalam jangka waktu satu tahun, Jepang Taring berhasil menyelesaikan pekerjaannya itu. Mesin milik Aman Kuba di Pendere ini merupakan mesin jenis Four in One. Selain digunakan sebagai penggiling padi, mesin ini juga dapat dimanfaatkan sebagai  pengupas kopi, pembelah kayu, sekaligus sebagai sumber listrik warga sekitar. Atas karyanya itu, Jepang Taring menerima hadian satu unit Mobil Jeep Willis dari Aman Kuba.

Hingga tahun 1989, seluruh peralatan masih berfungsi dengan baik. Namun,  di tahun 1990, As utama roda penggerak rusak berat dan harus diganti. Butuh waktu lama untuk memperbaikinya. Akibatnya, sementara waktu mesin Four in One itu tidak berfungsi. Tak ingin menunggu terlalu lama, untuk menggerakkan mesin, energi air digantikan dengan mesin Truk Fuso.

Tahun 1990 Aman Kuba meninggal. Pengelolaan mesin diserahkan kepada anak, Hasan Makmur. Pada tahun 1992, Hasan memperbaiki peralatan As roda, namun usaha itu tak berhasil. Pada tahun yang sama pemerintah juga sedang mewacanakan  pembangunan PLTA Angkup. Rencananya, untuk pengerjaan PLTA itu, pemerintah akan membebaskan beberapa bagian Long (parit) yang sebelumnya digunakan untuk mengairi air sebagai tenaga mesin Aman Kuba.

Mendengar informasi, disepanjang lahan yang akan dibebaskan itu, masyarakat beramai-ramai membangun kolam ikan. Tujuannya, agar mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. Akibatnya proses perbaikan Roda Pendere terhenti total hingga sekarang. Ironisnya, proyek PLTA juga tak kunjung selesai.

Aliran air sungai Peusangan yang lumayan deras memang telah memberi kemudahan bagi para petani di Aceh Tengah, khususnya di daerah yang terdapat mesin penggiling padi mengunakan tenaga air. Maka wajar jika Pemerintah beberapa kali merencanakan dan melaksanakan pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan memanfaatkan aliran sungai Peusangan seperti yang dilakukan Aman Limpah, Aman Payung dan Aman Kuba.

Sayangnya, mega proyek PLTA Peusangan yang belum juga dibangun hingga kini dengan berbagai alasan, ternyata telah mematikan usaha yang memanfaatkan teknologi air. Saat ini Aman Nona, Hasan Makmur serta pengelola Roda milik Aman Kuba resah. Pasalnya, disamping ancaman mega proyek PLTA Peusangan,  cerka atau bilah-bilah kayu yang menggerakkan mesin setelah diterjang air, dalam keadaan rapuh karena usia pemakaian. ”Cerka-cerka ini harus sudah diganti karena lapuk. Namun terkendala tidak adanya kayu. Kalau mau mengambil kayu untuk cerka ini, katanya harus ada ijin. Inilah hambatan utamanya,” kata Aman Nona bingung.

Karena itu, Aman Nona kepada dinas terkait yang mengeluarkan ijin tebang kayu yang akan digunakan bahan baku pembuatan cerka penggerak mesin. ”Kalau mesin ini rusak dan tidak berfungsi banyak orang yang yang selama ini tergantung pada mesin ini akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan,” keluh Aman Nona.

Padahal, selain untuk menjaga kearifan lokal dan menarik minat wisatawan, mesin penggiling padi mengunakan tenaga air memberi banyak kemudahan bagi para petani. Selain cara operasionalnya yang mudah, mesin mengunakan tenaga air itu juga hemat dan ramah terhadap lingkungan. Bandingkan saja, jika mesin itu digerakkan dengan mengunakan tenaga solar, dalam satu hari dibutuhkan sebanyak 20 hingga 30 liter solar. ”Dengan penggerak mesin tenaga air, maka biaya pembelian solar dan biaya kerusakan sudah menutupi upah lima orang pekerja,” kata Aman Nona.

Sumber: theglobejournal.com

0 comments:

Post a Comment