Legenda Atu Belah

Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.

Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai.

Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya.

“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap.

Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya.

“Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.

Namun, sungguh malang petani itu. Ketika ia mengayunkan parangnya ke tubuh babi hutan itu, parangnya yang telah aus itu patah menjadi dua. Babi hutan yang terluka itu semakin marah. Petani itu lari tunggang langgang dikejar babi hutan. Ketika ia meloncati sebuah sungai kecil, ia terpeleset dan jatuh sehingga kepalanya terantuk batu. Tewaslah petani itu tanpa diketahui anak istrinya. Sementara itu – di rumah isri petani itu sedang memarahi si Sulung dengan hati yang sedih karena si Sulung telah membuang segenggam beras terakhir yang mereka punyai ke dalam sumur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari dan dirawat dengan penuh cinta kasih itu, kini menjadi anak yang nakal dan selalu membuat susah orang tua.

Karena segenggam beras yang mereka miliki telah dibuang si Sulung ke dalam sumur maka istri petani itu berniat menjual periuk tanah liatnya ke pasar. “Sulung, pergilah ke belakang dan ambillah periuk tanah liat yang sudah ibu keringkan itu. Ibu akan menjualnya ke pasar. Jagalah adikmu karena ayahmu belum pulang,” ucapnya. Akan tetapi, bukan main nakalnya si Sulung ini. Dia bukannya menuruti perintahnya ibunya malah ia menggerutu.

“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku harus menjaga si Bungsu dan aku tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu, dibantingnya kedua periuk tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli beras. Kedua periuk itu pun hancur berantakan di tanah.

Bukan main terkejut dan kecewanya ibu si Sulung ketika mendengar suara periuk dibanting.
“Aduuuuuh…..Sulung! Tidak tahukah kamu bahwa kita semua butuh makan. Mengapa periuk itu kamu pecahkan juga, padahal periuk itu adalah harta kita yang tersisa,” ujar ibu si Sulung dengan mata penuh air mata. Namun si Sulung benar-benar tidak tahu diri, ia tidak mau makan pisang. Ia ingin makan nasi dengan lauk gulai ikan. Sunguh sedih ibu si Sulung mendengar permintaan anaknya itu.
“Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan bayi lagi, mengapa harus makan pisang,” teriak si Sulung marah sambil membanting piringnya ke tanah.

Ketika si Sulung sedang marah, datang seorang tetangga mereka yang mengabarkan bahwa mereka menemukan ayah si Sulung yang tewas di tepi sungai. Alangkah sedih dan berdukanya ibu si Sulung mendengar kabar buruk itu. Dipeluknya si Sulung sambil menangis, lalu berkata “Aduh, Sulung, ayahmu telah tewas. Entah bagaimana nasib kita nanti,” ratap ibu si Sulung. Tetapi si Sulung tidak tampak sedih sedikit pun mendengar berita itu. Bagi si Sulung, ia merasa tidak ada lagi yang memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak disenanginya.

“Sulung, ibu merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Hati ibu sedih sekali apabila memikirkan kamu. Asuhlah adikmu dengan baik. Ibu akan menuju ke Batu Belah. Ibu akan menyusul ayahmu,” ucap ibu si Sulung. Ibu si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang menonjol, yang disebut orang Batu Belah. Sesampainya di sana, ibu si Sulung pun bernyanyi,

Batu belah batu bertangkup.
Hatiku alangkah merana.
Batu belah batu bertangkup.
Bawalah aku serta.


Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu pun terbelah. Setelah ibu si Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat kembali. Melihat kejadian itu, timbul penyesalan di hati si Sulung. Ia menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi, namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang ditelan Batu Belah.

Objek Wisata Bireuen

Kabupaten Bireuen Ibukotanya adalah Kota Bireuen. Kabupaten Bireuen  adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nanggroe Aceh  Darussalam. Menjadi kabupaten otonom sejak tahun 2000 sebagai hasil  pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara.  Selain itu juga Bireuen menyediakan banyak tempat wisata yang menarik yang dapat anda  dikunjungi, diantaranya:





1. Tugu Batee Kureng
Tugu Bate Kureng adalah  salah satu tugu yang terletak di jantung Ibukota Bireuen tepatnya di  depan Meuligoe Bupati. Diatasnya terdapat batu besar dan telah menjadi  lambang kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Bireuen. Tugu ini terpancar  sebuah ketegaran, ibarat kata “tak lekang di bakar panas, tak lapuk di  guyur hujan”.

2. Pemandian Krueng Simpo
Obyek Wisata dengan panorama  alam yang sejuk dan bebatuan serta  pepohonan yang rindang ini  terletak di sisi jalan Negara Bireuen – Takengon Km. 18. Pada hari libur  khususnya Krueng Simpo ramai dikunjungi oleh pengunjung.

3. Batee Iliek
Obyek wisata Batee Iliek  adalah tempat wisata pemandian yang dihiasi oleh air sungai yang  mengalir di celah – celah bebatuan yang berukuran besar yang  terletak di lereng bukit yang berudara sejuk. Setiap hari libur ramai di  kunjungi oleh wisatawan domestik. Obyek wisata ini terletak di desa  Batee Iliek yang berjarak 44 Km sebelah barat ibukota Kabupaten Bireuen.

4. Pantai Kuala Jangka
Pantai Kuala Jangka  merupakan satu-satunya kuala yang sangat potensial bagi masyarakat  nelayan di Kecamatan Jangka yang juga merupakam obyek wisata bahari.  Lautan yang membentang luas, panorama alam yang indah, ombak yang pecah  menghantam bebatuan. Pantai ini juga sering digunakan sebagai tempat  memancing bagi masyarakat Bireuen dan sekitarnya. Obyek wisata ini terletak  disebelah timur kota Bireuen dengan jarak berkisar 16 km.

5. Pantai Kuala Jeumpa
Pantai Kuala Jeumpa adalah  obyek wisata bahari. Pantai yang alamnya sangat indah dengan pulau-pulau  kecil yang terletak disamping muara sungai. Ditempat ini juga merupakan  tempat bertelurnya penyu. Disamping itu juga merupakan tempat  mendaratnya perahu para nelayan tradisional. Pantai Kuala Jeumpa ini  terletak di Kecamatan Jeumpa dengan jarak sekitar 5 km dari ibukota  kabupaten.

6. Krueng Juli
Obyek wisata Krueng Juli dan  Ujong Blang adalah daerah pantai laut yang menyimpan pesona keindahan  pasir pantainya. Lokasi obyek wisata panorama pantai ini terletak  disebelah utara Kabupaten Bireuen yang berjarak ± 3 Km  tepatnya di desa  Ujong Blang dan Krueng Juli Kecamatan Kuala.
Sumber: tanohaceh.com

Tempat Bersejarah di Aceh Tengah

Sekitar tahun 1904 kedatangan kolonial Belanda, hal ini tidak terlepas dari potensi perkebunan tanoh Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika, tembakau dan damar.

Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh,  Sigli sebagai ibukotanya. Pada saat itu kota Takengon di dirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Baru kemudian kota Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya sayuran dan kopi.

Pada masa penjajahan Jepang tahun (1942-1945), sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun, dipimpin oleh Gunco.  Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus  1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah  lagi menjadi kabupaten. Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten.

Pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956, wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu:
  • Kewedanaan Takengon,
  • Kewedanaan Gayo Lues dan
  • Kewedanaan Tanah Alas.
Dikarenakan sulitnya transportasi dan di dukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui undang-undang No. 4 Tahun 1974. Dan kemudian pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah  dengan undang-undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap  beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota  di Simpang Tiga Redelong.

Situs Sejarah Kabupaten Aceh Tengah

1. Umah Pitu Ruang Museum Makam Reje Linge
  
Ada beberapa Umah Pitu Ruang di Aceh Tengah di antaranya di Kampung Kemili Kecamatan Bebesen, Kampung Toeren Kecamatan Lut Tawar, dan di Kampung Buntul Linge Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

Umah Pitu Ruang yang berada di Kampung Buntul  Linge Isaq adalah salah satu obyek wisata sejarah yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan di situlah bukti sejarah kerajaan besar yang pernah ada di daerah Gayo yang sangat terkenal dengan nama Reje Linge.

2. Radio Rimba Raya
Monumen  Radio Rimba Raya adalah sebuah tugu yang dibangun untuk  mengenang  sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam   mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan   oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987   pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di kampung Rime Raya,   kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain   menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang   menarik untuk dikunjungi.

Menurut sejarahnya, perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli pada Jhon Lee   (seorang blasteran Manado-China) yang menjadi perantara pembelian   perangkat radio tersebut. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di   Malaysia dan dibawa ke kota Juang Bireuen. Dari kota Bireuen, perangkat   itu dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai   komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat   mengudara, oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke   kampung Rime Raya yang saat itu masuk kecamatan Timang Gajah, Aceh   Tengah.

Sebelumnya,  perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung  Burni Bius,  kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di  kawasan itu  tidak aman, penjajah Belanda sedang memantau proses  pengiriman  perangkat radio itu, maka peralatan tersebut ditempatkan di  kampung  Rime Raya.

Setelah  melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya,  akhirnya  awal Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara untuk  memberitakan bahwa  Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar.  Dari Radio Rimba  Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan  kepada  pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang  mempertahankan  negara dari penjajahan Belanda.

3. Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan   ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali.  Adi Genali  (Kik Betul) mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak  Linge, Merah Johan dan  Merah Linge.   Reje  Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan  sebentuk   cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum  Berdaulat Mahmud Syah Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule  (1012-1038   M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri  Linge   pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri  yang   bernama Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.

4. Umah Edet Pitu Ruang
Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo,   adalah peninggalan raje  Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah  berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli dengan peninggalan sejarah tersebut.

Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya mulai pudar  bahkan nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli,  padahal rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk aslinya.

Beberapa bagian lantai rumah  adat tersebut sudah mulai lapuk. Begitu juga dengan 27 tiang penyangga  dari kayu pilihan dan diukir dengan pahatan kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus. Beberapa batu gunung  dipakai sebagai alas tiang utama agar posisi rumah tetap stabil. Beberapa warga (Petua Kampung)  Toeren tersebut mengatakan, Rumah adat Umah Pitu  Ruang Toweren memang dibuat dari kayu pilihan. Diameter tiang  penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak diketahui tahun berapa  rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita, bangunannya sudah berdiri  sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran Tinggi Gayo.

Umah Edet Pitu Ruang Gayo  tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu  dan   bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut bentuk nya  berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk seni  kerawang Gayo yang di pahat khusus.

Walaupun tidak mengunakan paku  tapi kekuatan rumah adat pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi  bahan kayu yang sangat bermutu pada zaman duhulu, tetapi bagaimana pun  kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh dengan  sendirinya di makan zaman.

Luas Umah Edet Pitu Ruang itu,  panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter. Berbentuk rumah panggung  dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di dalamnya terdapat  empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di  arah timur dan barat.

Semua sambungan memakai ciri  khas tersendiri menggunakan pasak kayu. Hampir semua bagian sisi dipakai  ukiran kerawang yang dipahat, dengan berbagai motif, seperti puter tali  dan sebagainya. Di tengah ukiran kerawang terdapat ukiran berbentuk  ayam dan ikan yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara  ukiran naga merupakan lambang kekuatan, kekuasaan dan kharisma.  Peninggalan Raja Baluntara, bukan hanya bangunan tua yang bertengger  usang di Kampung Toweren Uken, tetapi aset bersejarah lain masih  tersimpan rapi oleh pihak keluarga seperti Bawar.

Bawar adalah sebuah tanda kerajaan yang diberikan oleh Sultan Aceh kepada Raja Baluntara. Selain  Bawar yang masih disimpan oleh keluarga keturunan raja itu, ada piring,  pedang, cerka dan sejumlah barang peninggalan yang sangat bersejarah.  Di belakang rumah adat tersebut dahulunya ada rumah dapur di bagian  Selatan yang ukurannya sama dengan ruang utama yang berukuran 9 x 12.  Ruangan dimaksud telah hancur. Selain itu, juga ada mersah, kolam dan  roda, alat penumbuk padi dengan kekuatan air yang semuanya juga sudah  musnah.

Reje Baluntara merupakan seorang  raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga disebut sebagai Reje  Baluntara (raja belantara- red). Menurut cerita yang berkembang foto  Reje Baluntara, ditemukan oleh salah seorang keluarga Reje Baluntara  yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje Amat Banta.

Dalam sebuah kesempatan ke  Belanda, Reje Amat Banta menemukan foto Reje Baluntara yang dibuat oleh  Belanda, kemudian dibawa pulang ke Takengon, kemudian dibuat lukisannya  sesuai foto aslinya. Sekeliling  rumah pitu ruang tersebut pada tahun 1990 di buat pagar kawat oleh Suaka  Sejarah dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh, kini rumah itu tidak  lagi di tempati oleh keluarga reje baluntara.

5. Mata Uang Linge
Mata  uang Kerajaan Lingga, Mata uang Pa berupa uang emas. Sisi pertama  tercantum gambar seorang laki-laki memegang tombak. Disisi sebelah lagi  tercantum tulisan dalam bahasa arab: Allah, Muhammad, Abubakar, Umar,  Usman dan Ali serta ditengahnya tertulis PA Lingga, artinya uang Pa  Kerajaan Lingga.
Sumber: tanohaceh.com

Kerajianan Tikar Pandan Simeulue

Masyarakat Aceh sudah mengenal anyaman pandan dari dahulu khususnya  masyarakat di pesisir pantai dimana banyak terdapat pohon pandan (bak seukeu). Khusus bagi masyarakat Simeulue menganyam tikar pandan sudah menjadi tradisi yang dilakukan secara  turun temurun oleh masyarakat disana dan menjadi kegiatan rutin bagi  para wanitanya. Di Simeulue Barat, Tikar Pandan ini merupakan bagian dari ritual adat dan biasanya digunakan pada saat upacara pernikahan,  menyambut tamu, upacara kematian dan upacara do'a selamat untuk anak yang  baru lahir, dan lain sebagainya.
Sumber: www.tanohaceh.com

Perhiasan Khas Aceh

Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernak-pernik yang biasa  selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernak-pernik tersebut  antara lain:

1. Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros)
Keureusang adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 cm dan lebar  7,5 cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros)  yang terbuat dari emas bertahtakan intan dan berlian. Bentuk  keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan  berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat  baju (seperti peniti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang  mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai  perhiasan pakaian harian.

2. Patam Dhoe
Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat  dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti  mahkota. Patam Dhoe terbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga  bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian  tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di  tengahnya terdapat tulisan Muhammad, motif ini disebut Bungong  Kalimah yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

3. Peuniti
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas, terdiri dari tiga buah hiasan  motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang  dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah  terdapat motif boh eungkot (bulatan-bulatan kecil seperti telur ikan).  Motif Pinto Aceh ini di ilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang  dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai  sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

4. Simplah
Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak  sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah  lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif  bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan  tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai Simplah mempunyai ukuran panjang sebesar 51 cm dan Lebar sebesar 51 cm.

5. Subang Aceh
Subang Aceh memiliki diameter dengan ukuran 6 cm. Sepasang Subang yang  terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan  ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang  berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut  juga subang bungong mata uro (bunga matahari).

6. Seuntai (Taloe Jeuem)
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari  rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan berbentuk  ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait  berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat  laki-laki yang disangkutkan di baju.
Sumber: www.tanohaceh.com