Objek Wisata Bireuen

Kabupaten Bireuen Ibukotanya adalah Kota Bireuen. Kabupaten Bireuen  adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nanggroe Aceh  Darussalam. Menjadi kabupaten otonom sejak tahun 2000 sebagai hasil  pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara.  Selain itu juga Bireuen menyediakan banyak tempat wisata yang menarik yang dapat anda  dikunjungi, diantaranya:





1. Tugu Batee Kureng
Tugu Bate Kureng adalah  salah satu tugu yang terletak di jantung Ibukota Bireuen tepatnya di  depan Meuligoe Bupati. Diatasnya terdapat batu besar dan telah menjadi  lambang kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Bireuen. Tugu ini terpancar  sebuah ketegaran, ibarat kata “tak lekang di bakar panas, tak lapuk di  guyur hujan”.

2. Pemandian Krueng Simpo
Obyek Wisata dengan panorama  alam yang sejuk dan bebatuan serta  pepohonan yang rindang ini  terletak di sisi jalan Negara Bireuen – Takengon Km. 18. Pada hari libur  khususnya Krueng Simpo ramai dikunjungi oleh pengunjung.

3. Batee Iliek
Obyek wisata Batee Iliek  adalah tempat wisata pemandian yang dihiasi oleh air sungai yang  mengalir di celah – celah bebatuan yang berukuran besar yang  terletak di lereng bukit yang berudara sejuk. Setiap hari libur ramai di  kunjungi oleh wisatawan domestik. Obyek wisata ini terletak di desa  Batee Iliek yang berjarak 44 Km sebelah barat ibukota Kabupaten Bireuen.

4. Pantai Kuala Jangka
Pantai Kuala Jangka  merupakan satu-satunya kuala yang sangat potensial bagi masyarakat  nelayan di Kecamatan Jangka yang juga merupakam obyek wisata bahari.  Lautan yang membentang luas, panorama alam yang indah, ombak yang pecah  menghantam bebatuan. Pantai ini juga sering digunakan sebagai tempat  memancing bagi masyarakat Bireuen dan sekitarnya. Obyek wisata ini terletak  disebelah timur kota Bireuen dengan jarak berkisar 16 km.

5. Pantai Kuala Jeumpa
Pantai Kuala Jeumpa adalah  obyek wisata bahari. Pantai yang alamnya sangat indah dengan pulau-pulau  kecil yang terletak disamping muara sungai. Ditempat ini juga merupakan  tempat bertelurnya penyu. Disamping itu juga merupakan tempat  mendaratnya perahu para nelayan tradisional. Pantai Kuala Jeumpa ini  terletak di Kecamatan Jeumpa dengan jarak sekitar 5 km dari ibukota  kabupaten.

6. Krueng Juli
Obyek wisata Krueng Juli dan  Ujong Blang adalah daerah pantai laut yang menyimpan pesona keindahan  pasir pantainya. Lokasi obyek wisata panorama pantai ini terletak  disebelah utara Kabupaten Bireuen yang berjarak ± 3 Km  tepatnya di desa  Ujong Blang dan Krueng Juli Kecamatan Kuala.
Sumber: tanohaceh.com

Tempat Bersejarah di Aceh Tengah

Sekitar tahun 1904 kedatangan kolonial Belanda, hal ini tidak terlepas dari potensi perkebunan tanoh Gayo yang sangat cocok untuk budidaya kopi Arabika, tembakau dan damar.

Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan Onder Afdeeling Nordkus Atjeh,  Sigli sebagai ibukotanya. Pada saat itu kota Takengon di dirikan sebuah perusahaan pengolahan kopi dan damar. Baru kemudian kota Takengon mulai berkembang menjadi sebuah pusat pemasaran hasil bumi dataran tinggi Gayo, khususnya sayuran dan kopi.

Pada masa penjajahan Jepang tahun (1942-1945), sebutan Onder Afdeeling Takengon di era kolonial Belanda, berubah menjadi Gun, dipimpin oleh Gunco.  Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus  1945, sebutan tersebut berganti menjadi wilayah yang kemudian berubah  lagi menjadi kabupaten. Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten.

Pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956, wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu:
  • Kewedanaan Takengon,
  • Kewedanaan Gayo Lues dan
  • Kewedanaan Tanah Alas.
Dikarenakan sulitnya transportasi dan di dukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui undang-undang No. 4 Tahun 1974. Dan kemudian pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah  dengan undang-undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap  beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota  di Simpang Tiga Redelong.

Situs Sejarah Kabupaten Aceh Tengah

1. Umah Pitu Ruang Museum Makam Reje Linge
  
Ada beberapa Umah Pitu Ruang di Aceh Tengah di antaranya di Kampung Kemili Kecamatan Bebesen, Kampung Toeren Kecamatan Lut Tawar, dan di Kampung Buntul Linge Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.

Umah Pitu Ruang yang berada di Kampung Buntul  Linge Isaq adalah salah satu obyek wisata sejarah yang ada di Kabupaten Aceh Tengah dan di situlah bukti sejarah kerajaan besar yang pernah ada di daerah Gayo yang sangat terkenal dengan nama Reje Linge.

2. Radio Rimba Raya
Monumen  Radio Rimba Raya adalah sebuah tugu yang dibangun untuk  mengenang  sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam   mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan   oleh Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987   pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di kampung Rime Raya,   kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain   menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang   menarik untuk dikunjungi.

Menurut sejarahnya, perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli pada Jhon Lee   (seorang blasteran Manado-China) yang menjadi perantara pembelian   perangkat radio tersebut. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di   Malaysia dan dibawa ke kota Juang Bireuen. Dari kota Bireuen, perangkat   itu dibawa ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai   komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat   mengudara, oleh pejuang-pejuang Aceh, perangkat radio itu dibawa ke   kampung Rime Raya yang saat itu masuk kecamatan Timang Gajah, Aceh   Tengah.

Sebelumnya,  perangkat radio itu direncanakan akan dibawa ke kampung  Burni Bius,  kecamatan Silih Nara. Namun karena kondisi keamanan di  kawasan itu  tidak aman, penjajah Belanda sedang memantau proses  pengiriman  perangkat radio itu, maka peralatan tersebut ditempatkan di  kampung  Rime Raya.

Setelah  melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya,  akhirnya  awal Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara untuk  memberitakan bahwa  Republik Indonesia masih eksis kepada dunia luar.  Dari Radio Rimba  Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan  kepada  pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang  mempertahankan  negara dari penjajahan Belanda.

3. Kerajaan Linge
Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan   ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali.  Adi Genali  (Kik Betul) mempunyai 4 (empat) orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak  Linge, Merah Johan dan  Merah Linge.   Reje  Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan  sebentuk   cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum  Berdaulat Mahmud Syah Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule  (1012-1038   M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri  Linge   pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri  yang   bernama Syekh  Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.

4. Umah Edet Pitu Ruang
Rumah Adat Tujuh Ruang (Umah Edet Pitu Ruang) bahasa Gayo,   adalah peninggalan raje  Baluntara yang nama aslinya Jalaluddin sudah  berdiri sejak pra-kemerdekaan. Rumah adat itu adalah bukti sejarah orang Gayo yang masih ada, tapi sayang tampaknya tidak ada yang peduli dengan peninggalan sejarah tersebut.

Rumah tua Umah Edet Pitu Ruang (Rumah Adat Tujuh Ruang) bukti sejarah orang Gayo tersebut letaknya di sebuah kampung pinggiran Danau Lut Tawar tepatnya di Kampung Toweren, Kecamatan Laut Tawar Aceh Tengah siapa saja boleh melihatnya, tetapi rumah tesebut warnanya mulai pudar  bahkan nyaris hilang dimakan waktu seakan akan tidak ada yang perduli,  padahal rumah itu adalah bukti sejarah yang masih ada di Dataran Tinggi Gayo yang benar-benar asli peninggalan tidak seperti rumah adat di Linge dan Mess Pitu Ruang di Kampung Kemili Takengon yang hanya copyan dari bentuk aslinya.

Beberapa bagian lantai rumah  adat tersebut sudah mulai lapuk. Begitu juga dengan 27 tiang penyangga  dari kayu pilihan dan diukir dengan pahatan kerawang Gayo sudah mulai bergeser dan tidak lagi tegak lurus. Beberapa batu gunung  dipakai sebagai alas tiang utama agar posisi rumah tetap stabil. Beberapa warga (Petua Kampung)  Toeren tersebut mengatakan, Rumah adat Umah Pitu  Ruang Toweren memang dibuat dari kayu pilihan. Diameter tiang  penyangganya pun seukuran dekapan dewasa. Tidak diketahui tahun berapa  rumah itu dibangun, tetapi menurut cerita, bangunannya sudah berdiri  sebelum kolonial Belanda masuk ke Dataran Tinggi Gayo.

Umah Edet Pitu Ruang Gayo  tersebut tidak mengunakan paku, tetapi dipasak dengan kayu  dan   bermacam-macam ukiran di setiap kayu. Ukiran tersebut bentuk nya  berbeda-beda, ada yang berbentuk hewan dan ada yang berbetuk seni  kerawang Gayo yang di pahat khusus.

Walaupun tidak mengunakan paku  tapi kekuatan rumah adat pitu ruang tersebut sangatlah kuat apalagi  bahan kayu yang sangat bermutu pada zaman duhulu, tetapi bagaimana pun  kuatnya tanpa adanya perawatan bangunan tersebut akan roboh dengan  sendirinya di makan zaman.

Luas Umah Edet Pitu Ruang itu,  panjangnya 9 meter dengan lebar 12 meter. Berbentuk rumah panggung  dengan lima anak tangga, menghadap utara. Sementara di dalamnya terdapat  empat buah kamar. Selain empat kamar, ada dua lepo atau ruang bebas di  arah timur dan barat.

Semua sambungan memakai ciri  khas tersendiri menggunakan pasak kayu. Hampir semua bagian sisi dipakai  ukiran kerawang yang dipahat, dengan berbagai motif, seperti puter tali  dan sebagainya. Di tengah ukiran kerawang terdapat ukiran berbentuk  ayam dan ikan yang melambangkan kemuliaan dan kesejahteraan. Sementara  ukiran naga merupakan lambang kekuatan, kekuasaan dan kharisma.  Peninggalan Raja Baluntara, bukan hanya bangunan tua yang bertengger  usang di Kampung Toweren Uken, tetapi aset bersejarah lain masih  tersimpan rapi oleh pihak keluarga seperti Bawar.

Bawar adalah sebuah tanda kerajaan yang diberikan oleh Sultan Aceh kepada Raja Baluntara. Selain  Bawar yang masih disimpan oleh keluarga keturunan raja itu, ada piring,  pedang, cerka dan sejumlah barang peninggalan yang sangat bersejarah.  Di belakang rumah adat tersebut dahulunya ada rumah dapur di bagian  Selatan yang ukurannya sama dengan ruang utama yang berukuran 9 x 12.  Ruangan dimaksud telah hancur. Selain itu, juga ada mersah, kolam dan  roda, alat penumbuk padi dengan kekuatan air yang semuanya juga sudah  musnah.

Reje Baluntara merupakan seorang  raja yang juga mengusai kawasan hutan sehingga disebut sebagai Reje  Baluntara (raja belantara- red). Menurut cerita yang berkembang foto  Reje Baluntara, ditemukan oleh salah seorang keluarga Reje Baluntara  yang bekerja di Jakarta, almarhum Reje Amat Banta.

Dalam sebuah kesempatan ke  Belanda, Reje Amat Banta menemukan foto Reje Baluntara yang dibuat oleh  Belanda, kemudian dibawa pulang ke Takengon, kemudian dibuat lukisannya  sesuai foto aslinya. Sekeliling  rumah pitu ruang tersebut pada tahun 1990 di buat pagar kawat oleh Suaka  Sejarah dan Peninggalan Purbakala Banda Aceh, kini rumah itu tidak  lagi di tempati oleh keluarga reje baluntara.

5. Mata Uang Linge
Mata  uang Kerajaan Lingga, Mata uang Pa berupa uang emas. Sisi pertama  tercantum gambar seorang laki-laki memegang tombak. Disisi sebelah lagi  tercantum tulisan dalam bahasa arab: Allah, Muhammad, Abubakar, Umar,  Usman dan Ali serta ditengahnya tertulis PA Lingga, artinya uang Pa  Kerajaan Lingga.
Sumber: tanohaceh.com

Kerajianan Tikar Pandan Simeulue

Masyarakat Aceh sudah mengenal anyaman pandan dari dahulu khususnya  masyarakat di pesisir pantai dimana banyak terdapat pohon pandan (bak seukeu). Khusus bagi masyarakat Simeulue menganyam tikar pandan sudah menjadi tradisi yang dilakukan secara  turun temurun oleh masyarakat disana dan menjadi kegiatan rutin bagi  para wanitanya. Di Simeulue Barat, Tikar Pandan ini merupakan bagian dari ritual adat dan biasanya digunakan pada saat upacara pernikahan,  menyambut tamu, upacara kematian dan upacara do'a selamat untuk anak yang  baru lahir, dan lain sebagainya.
Sumber: www.tanohaceh.com

Perhiasan Khas Aceh

Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernak-pernik yang biasa  selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernak-pernik tersebut  antara lain:

1. Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros)
Keureusang adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 cm dan lebar  7,5 cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis bros)  yang terbuat dari emas bertahtakan intan dan berlian. Bentuk  keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan  berlian sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat  baju (seperti peniti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang  mewah dan yang memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai  perhiasan pakaian harian.

2. Patam Dhoe
Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat  dari emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti  mahkota. Patam Dhoe terbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga  bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian  tengah terdapat ukuran kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di  tengahnya terdapat tulisan Muhammad, motif ini disebut Bungong  Kalimah yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.

3. Peuniti
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas, terdiri dari tiga buah hiasan  motif Pinto Aceh. Motif Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang  dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan bunga. Pada bagian tengah  terdapat motif boh eungkot (bulatan-bulatan kecil seperti telur ikan).  Motif Pinto Aceh ini di ilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang  dikenal sebagai motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai  sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai penyemat baju.

4. Simplah
Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak  sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah  lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif  bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan  tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai Simplah mempunyai ukuran panjang sebesar 51 cm dan Lebar sebesar 51 cm.

5. Subang Aceh
Subang Aceh memiliki diameter dengan ukuran 6 cm. Sepasang Subang yang  terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari dengan  ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan yang  berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang". Subang ini disebut  juga subang bungong mata uro (bunga matahari).

6. Seuntai (Taloe Jeuem)
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari  rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan berbentuk  ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait  berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat  laki-laki yang disangkutkan di baju.
Sumber: www.tanohaceh.com

Gelar Bangsawan Aceh

Di aceh terdapat banyak gelar-gelar suku / bangsawan di antaranya:

1. Cut
Cut adalah salah satu gelar kebangsawanan di Aceh yang diperuntukkan untuk kaum perempuan. Gelar ini diturunkan sampai ke  anak cucunya jika perempuan bangsawan tersebut menikah dengan laki-laki  dari kalangan bangsawan juga, yang lazim disebut dengan "Teuku".

2. Haria Peukan
Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan pengutip retribusi dalam masyarakat adat Aceh.

3. Imum Mukim
Imum Mukim adalah orang yang dipercayakan untuk mengurusi masalah  keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim (pemerintahan mukim terdiri  dari beberapa gampoeng), yang bertindak sebagai imam sembahyang pada  setiap hari Jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.

4. Laksamana
Laksamana adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari  Bahasa Melayu, yaitu panglima tertinggi di laut. Seperti halnya  digunakan pada masa Sultan Iskandar Muda (1593-1636), di Kesultanan Samudera Pasai (Aceh) yang memiliki seorang panglima angkatan laut perempuan bernama Laksamana Malahayati.  Hang Tuah, yang diduga berasal dari Kepulauan Riau, dihikayatkan dalam  Sastra Melayu menjadi seorang laksamana di Kerajaan Malaka pada abad  ke-14.

5. Meurah
Meurah adalah gelar raja-raja di Aceh sebelum datangnya agama Islam. Dalam bahasa Gayo disebut Marah, seperti Marah Silu yang merupakan pendiri kerajaan Samudera Pasai. Contoh lainnya adalah putra Sultan Iskandar Muda digelari dengan Meurah Pupok. Setelah datangnya agama Islam, setiap raja Aceh berganti gelar menjadi Sultan.

6. Panglima Laôt
Panglima Laôt (atau Panglima Laut) merupakan suatu struktur adat di kalangan masyarakat nelayan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,  yang bertugas memimpin persekutuan adat pengelola Hukôm Adat Laôt.  Hukôm Adat Laôt dikembangkan berbasis syariah Islam dan mengatur tata  cara penangkapan ikan di laut (meupayang), menetapkan waktu  penangkapan ikan di laut, melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan  mengelola upacara-upacara adat kenelayanan, menyelesaikan perselisihan  antar nelayan serta menjadi penghubung antara nelayan dengan penguasa  (dulu uleebalang, sekarang pemerintah daerah).

7. Panglima Uteun
Tradisi pengelolaan hutan yang arif bijaksana telah dipraktekkan  secara turun temurun dalam masyarakat Aceh. Hal ini diselenggarakan  melalui lembaga adat uteun yang dipimpin oleh Panglima Uteun. Panglima Uteun merupakan unsur pemerintahan mukim yang   bertanggungjawab kepada Imum Mukim. Khazanah adat budaya ini masih  melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Aceh sebagai sebuah kearifan  lokal yang masih ada terutama pada kemukiman yang wilayahnya berdekatan  dengan kawasan hutan.

Dalam literatur lama diterangkan bahwa beberapa fungsi utama yang harus dilakukan oleh Panglima Uteun adalah:

Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otoritas menegakkan norma-norma adat yang  berkaitan dengan bagaimana etika memasuki dan mengelola hutan adat (meuglee). Pangima Uteun atau Pawang Glee (bawahan Panglima Uteun atau Kejruen Glee) memberi nasihat dalam  mengelola dan memanfaatkan hutan. Nasehat tersebut berisikan tatanan  normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya  dengan  pengurusan hutan adat.  Selain itu, disampaikan pula petunjuk  perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat, atau  mendapat gangguan dari jin dan binatang-binatang buas lainnya.

Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning,  keutapang, glumpang, beringin dan kayu-kayu besar lainnya dalam rimba  yang dianggap sebagai tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan  umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa  saja boleh mengambil madu yang bersarang di pohon-pohon besar itu.  Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan kayu-kayu  besar lain yang bisa dijadikan perahu atau tongkang, kecuali atas seizin  dari kejruen atau raja.

Tanda larangan lain yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam  rimba yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar  kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang  mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya  diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda bahwa kayu  yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang.

Ketiga, panglima berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading  gajah, getah rambung (perca), sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan  untuk rumah sendiri atu untuk dijual, damar, dan sebagainya. Besarnya  wasee (cukai) adalah 10 % untuk raja.

Keempat, panglima berfungsi sebagai hakim dalam menyelesaikan setiap perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan, panglima uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar semua keterangan dari para pawang glee, kemudian setelah itu kejruen glee memberi hukum atau keputusan.

Berdasarkan fungsi di atas dapat dipahami bahwa fungsi panglima uteun dalam masyarakat Aceh sangat strategis dalam hal pengelolaan lingkungan  khususnya dalam hal pemanfaatan hutan dan hasilnya. Selanjutnya, dalam  mengelola hutan adat untuk dijadikan ladang atau kebun (meuglee), sistem pengelolaannya berkaitan erat dengan adat seuneubok. Seuneubok adalah suatu wilayah baru di luar gampong (desa), yang pada  mulanya berupa hutan adat yang dikemudian dijadikan kebun (ladang).

Pembukaan seuneubok harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubok dan lingkungan hidup itu sendiri, terutama bagi perlindungan sumber kawasan air. Artinya dalam pembukaan seuneubok yang akan dijadikan kebun terdapat aturan-aturan yang telah dipahami  dan dipraktekkan oleh masyarakat seperti larangan penebangan pohon dalam  radius atau jarak tertentu.

Dalam rangka perlindungan sumber kawasan air dan sekaligus  pengelolaan lingkungan hutan, terdapat beberapa larangan adat yang harus  dipatuhi oleh setiap orang, yaitu:

Pertama, dalam jarak 1200 depa (kira-kira 600 meter) dari  sumber mata air, danau, waduk, alue, dan lain-lain tidak boleh atau   dilarang  melakukan aktivitas penebangan pohon. Bahkan untuk   kepentingan raja sekalipun tetap tidak boleh. Tetapi menanam pohon  sangatlah dianjurkan.

Kedua, jarak 120 depa dari kiri-kanan sungai besar  tidak boleh ditebang pohon, tidak boleh dimiliki, karena adalah milik  adat yang manfaatnya juga untuk kepentingan bersama. Itu adalah untuk  penyangga bencana dari datangnya banjir dan tanah longsor.

Ketiga, 60 depa dari kiri-kanan anak sungai (alue)  tidak boleh ditebang pohon, namun menanamnya sangat dianjurkan sebagai   milik bersama. Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian fungsi  ekosistem kawasan sungai agar tidak terjadi banjir besar, karena air  hujan yang deras diserap ke dalamnya dan terdapat dedaun yang menahan  laju derasnya hujan hingga  sampai kebawahpun air akan tertahan oleh  tumpukan daun-daun yang mengendap jatuh hingga ke permukaan tanah.

Keempat, tidak boleh ditebang pohon di puncak gunung dan  daerah lereng yang terjal. Juga tidak boleh ditebang pohon dipinggiran  jurang yang jaraknya kira-kira dua kali kedalaman jurang. Larangan ini  dimaksudkan agar tidak terjadinya longsor yang dapat merusak lingkungan,  dan dapat pula menimbulkan kerugian bagi manusia itu sendiri.

Selanjutnya dalam memilih lahan lokasi pembukaan kebun, menurut adat uteun dan adat seuneubok perlu juga dipertimbangkan posisi letak lahan berdasarkan kemiringan  utara-selatannya sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam  pemilihan lokasi atau lahan untuk kebun juga bagi peruntukkan lahan  untuk kepentingan lainnya perlu mempertimbangkan kearifan lokal yang  dalam hadih maja dinyatakan dengan "Tanoh siheet ue timue pusaka  jeurat, siheet ue barat pusaka papa, siheet ue tunong geulantan, dan   siheet ue seulatan pusaka kaya". Yang mengandung arti "Tanah yang  miring atau menghadap ke timur adalah pusaka untuk kuburan, miring ke  barat pusaka untuk orang papa, miring ke utara tanah yang menang, dan   miring ke selatan pusaka kaya". Berarti, menurut kerangka pikir orang  Aceh tempo dulu lahan yang baik adalah lahan yang menghadap atau  miringnya ke utara atau ke selatan.

Tunong adalah utara. Geulantan berarti kemenangan atau kejayaan.  Sehingga, orang yang  memiliki lahan dengan arah ke utara diasumsikan  para penghuninya akan mendapat "keberkatan". Orang yang diberi berkat  adalah orang yang medapat kemenangan dan kebahagiaan. Sedangkan pemilik  lahan dengan arah ke selatan adalah "pusaka kaya", yang berarti, bakal menjadi kaya.

Selain tata cara memilih arah lahan, terutamanya untuk lokasi kebun, menurut adat uteun dan adat seuneubok dikenal pula beberapa pantangan yang meliputi:

Pertama, Pantangan Jambo. Artinya, jambo atau  pondok (gubuk) untuk berteduh atau bermalam ataupun untuk dijadikan  rumah, tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas dan  makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh menggunakan  kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular masuk ke pondok tersebut.

Kedua, Pantangan Darut (hama belalang). Dalam hal ini, para anggota seuneubok (para peladang)  pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada tunggul pohon, dan menebas semak (ceumecah)  dalam hujan. Semua pantangan ini tidak boleh dilanggar, karena kalau  dilanggar, dipercaya akan mendatangkan wabah belalang, dimana jutaan  belalang akan menyerbu kebun tersebut.

Ketiga, pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak  sambil memanggil-manggil di ladang karena jika melanggar adat ini  dipercaya akan dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet dan landak. Inti dari larang ini adalah larangan ria dan bersenda  gurau secara berlebihan.

8. Peutua Seuneubok
Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan  hutan, perladangan, perkebunan pada wilayah gunung, lembah-lembah dan  menyelesaikan sengketa perebutan lahan dalam masyarakat adat Aceh.

9. Qadli
Qadli (kadli) adalah orang yang dipercayakan untuk memimpin  pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada  tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe (negeri) yang disebut  Kadli Uleebalang.

10. Syahbandar
Syahbandar adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan,  tambatan kapal/perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau dalam  masyarakat adat Aceh.

11. Syarifah
Syarifah merupakan salah satu gelar kehormatan yang diberikan kepada  orang-orang yang merupakan bagian dari keturunan Nabi Muhammad SAW  melalui cucu beliau, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan  anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan  menantunya Ali bin Abi Thalib.

Untuk keturunan wanita mendapatkan gelar berupa Syarifah atau ada  juga yang menyebutnya Sayyidah, Alawiyah atau Sharifah. Gelar Syarifah  juga banyak kita temui di Aceh dan hampir di setiap kabupaten kota di Aceh.

12. Teuku
Teuku adalah gelar ningrat atau bangsawan untuk kaum pria suku  Aceh yang memimpin wilayah nanggroe atau kenegerian. Teuku adalah  seorang hulubalang atau ulee balang dalam bahasa Acehnya. Sama seperti  tradisi budaya patrilineal lainnya, gelar Teuku dapat diperoleh seorang  anak laki-laki, bilamana ayahnya juga bergelar Teuku. Seorang Teungku dapat pula berubah menjadi Teuku, apabila ia dialihkan  dari jabatan keagamaan ke jabatan pemerintahan atau sebaliknya. Ada juga  yang memakai 2 gelar sekaligus, misalnya Teungku Chik atau Teuku Pakeh.  Chik dan Pakeh berarti Teuku. Istilah Ampon diberikan kepada mereka yang peranan atau  jabatannya lebih menonjol dari Teuku-Teuku lainnya, gelar ini juga  diturunkan. Banyak kekeliruan serta kesalah pahaman rakyat Indonesia dalam  melafalkan atau menulis nama-nama tokoh Aceh, contohnya kesalahan dalam  membedakan siapa yang Teuku dan Teungku, contoh:
  • Teuku Umar, bukan Teungku Umar
  • Teungku Chik Di Tiro, bukan Teuku Chik Di Tiro

13. Teungku
Teungku di Aceh, menurut Snouck Hurgrunje (1985), dipergunakan untuk beberapa orang:
  • Pertama, sebutan untuk para leube atau leubei (lebai atau santri). Sebutan untuk kategori ini, juga termasuk untuk  golongan yang bukan ulama, namun ia tekun melakukan ibadah maupun  seorang haji yang telah menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah.
  • Kedua, panggilan untuk orang malem. Malem berasal dari bahasa Arab, asal kata mualim, yang artinya guru. Orang yang disebut malem,  memiliki pengetahuan mengenai kitab-kitab keagamaan, kalau di  gampong-gampong umumnya kitab kuning. Teungku juga diperuntukkan bagi  seorang alem (asal kata alim, bahasa Arab, berarti orang yang berilmu) yang telah melengkapi pendidikan agamanya.
  • Ketiga, panggilan teungku juga diperuntukkan untuk pria  dan wanita yang memberi pengajaran dasar mengaji Al-Qur’an, baik di  meunasah maupun di dayah. Biasanya, pengajaran dasar mengaji Al-Qur’an  di gampong-gampong dilaksanakan sejak habis dzuhur sampai ashar, dan  habis ashar sampai magrib.
  • Keempat, teungku juga dimaksudkan sebagai panggilan untuk kadhi (kali) yang bertindak sebagai hakim agama dalam wilayah uleebalang.  Sebutan terakhir ini sudah jarang ditemui, kecuali beberapa orang yang  sudah cukup tua, yang memang pernah menjadi hakim agama masa dahulu.

14. Teungku Meunasah
Teungku Meunasah adalah orang yang dipercayakan untuk memimpin  masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada satu unit  pemerintah Gampong (kampung).
Sumber: www.tanohaceh.com/?p=1115

Pulau-pulau Aceh

Aceh memiliki banyak pulau, pulau dengan panorama yang begitu indah. Bahkan ada kabar ada pulau Aceh yang belum memiliki nama yang berjumlah 129 pulau. Kita harus menjaga dan melestarikan budaya dan alam kita.
Diantaranya :








1. Pulau Banyak
 
2. Pulau Palambak










3. Pulau Tailana

 4. Pulau Pandan

5. Pulau Seumadu

6. Pulau Weh
  
Dan banyak pulau lagi yang ada di Aceh. Pulau yang begitu indah dan masih bersih dan bahkan belum ada pulau yang belum berpenghuni. Sungguh indah ciptaan Allah. Semoga kita semua bisa menjaganya. 

Kabupaten / Kota yang ada di Aceh

Peta Aceh
1. Kab. Aceh Barat Meulaboh, 12  Kecamatan

2. Kab. Aceh Barat Daya Blangpidie, 9  Kecamatan

3. Kab. Aceh Besar Kota Jantho, 23  Kecamatan

4. Kab. Aceh Jaya Calang, 6  Kecamatan

5. Kab. Aceh Selatan Tapak Tuan, 16  Kecamatan

6. Kab. Aceh Singkil Singkil, 10  Kecamatan

7. Kab. Aceh Tamiah Karang Baru, 12  Kecamatan

8. Kab. Aceh Tengah Takengon, 14  Kecamatan

9. Kab. Aceh Tenggara Kutacane, 11  Kecamatan

10. Kab. Aceh Timur Idi Rayeuk, 21  Kecamatan

11. Kab. Aceh Utara Lhoksukon, 27  Kecamatan

12. Kab. Bener Meriah Simpang Tiga Redelong, 7  Kecamatan

13. Kab. Bireun Bireun, 17  Kecamatan

14. Kab. Gayo Luas Blang Kejeren, 11  Kecamatan

15. Kab. Nagan Raya Suka Makmue, 5  Kecamatan

16. Kab. Pidie Sigli, 22  Kecamatan

17. Kab. Pidie Jaya Meureudu, 8  Kecamatan

18. Kab. Simeulue Sinabang, 8  Kecamatan

19. Kota Banda Aceh Banda Aceh, 9  Kecamatan

20. Kota Langsa Langsa, 5  Kecamatan

21. Kota Lhokseumawe Lhokseumawe, 4  Kecamatan

22. Kota Sabang Sabang, 2  Kecamatan

23. Kota Subulussalam Subulussalam, 5 Kecamatan

Suku-Suku yang berada di Aceh

1. Suku Aceh

Suku Aceh (bahasa Aceh: Ureuëng Acèh) adalah nama sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh, Indonesia. Suku Aceh mayoritas beragama Islam. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas Aceh.

Berdasarkan estimasi terkini, jumlah suku Aceh mencapai 4.477.000 jiwa, yang sebagian besar bertempat tinggal di Provinsi Aceh, Indonesia. Sedangkan menurut hasil olahan data sensus BPS 2010 oleh Aris Ananta dkk., jumlah suku Aceh di Indonesia adalah sebanyak 3.404.000 jiwa. Selain di Indonesia, terdapat pula minoritas diaspora yang cukup banyak di Malaysia, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia.

Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di pemukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai puncaknya pada abad ke-17. Suku Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh ajaran agama Islam, dan juga sebagai pejuang militan dalam melawan penaklukan kolonial Portugis dan Belanda.

2. Suku Aneuk Jamee

Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh. Dari segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau. Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan dari Suku Aneuk Jamee, terutama yang mendiami kawasan yang didominasi oleh Suku Aceh, misalnya di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Bahasa Aneuk Jamee hanya dituturkan di kalangan orang-orang tua saja dan saat ini umumnya mereka lebih lazim menggunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan sehari-hari (lingua franca). Adapun asal mula penyebutan “Aneuk Jamee” diduga kuat dipopulerkan oleh Suku Aceh setempat, sebagai wujud dari sifat keterbukaan Orang Aceh dalam memuliakan kelompok warga Minangkabau yang datang mengungsi (eksodus) dari tanah leluhurnya yang ketika itu berada di bawah cengkraman penjajah Belanda. Secara harfiah, istilah Aneuk Jamee berasal dari Bahasa Aceh yang berarti “anak tamu”.

3. Suku Alas

Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata “alas” dalam bahasa Alas berarti “tikar”. Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).

Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi, dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi.

Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.

Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama.

4. Suku Batak Pakpak

Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam.

Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari :

Pakpak Klasen (Kab. Humbang Hasundutan Sumut)
Pakpak Simsim (Kab. Pakpak Bharat-sumut)
Pakpak Boang (Kab. Singkil dan kota Sabulusalam-Aceh)
Pakpak Pegagan (Kab. Dairi-sumut)
Pakpak Keppas (Kab. Dairi sumut)

Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni:

Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)

Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang.

Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan. Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan). Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di India yang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.

5. Suku Devayan

Suku Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam.

6. Suku Gayo

Suku Gayo atau "urang gayo" adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi Gayo di Provinsi Aceh bagian tengah, Populasinya berjumlah kurang lebih 600.000 jiwa. Orang Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah (sekitar 30 - 45%) dan Gayo Lues (sekitar 50 - 70%) dan sebagian wilayah Aceh Tenggara dan 3 Kecamatan di Aceh Timur yaitu Serbejadi, Peunaron, dan Simpang Jernih. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya dan mereka menggunakan Bahasa Gayo dalam percakapan sehari-hari mereka.

7. Suku Haloban

Suku Haloban merupakan suatu suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil, tepatnya di kecamatan Pulau Banyak. Kecamatan Pulau Banyak merupakan suatu kecamatan yang terdiri dari 7 desa dengan ibukota kecamatan terletak di desa Pulau Balai.

8. Suku Kluet

Suku Kluet adalah sebuah suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur.

9. Suku Lekon

Suku Lekon adalah sebuah suku bangsa yang terdapat di kecamatan Alafan, Simeulue di provinsi Aceh. Suku ini terdapat di desa Lafakha dan dan Langi.

10. Suku Singkil

Suku Singkil adalah sebuah suku yang terdapat di kabupaten Aceh Singkil daratan dan kota Subulussalam di propinsi Aceh. Kedudukan suku Singkil sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah termasuk dalam suku Pakpak suak Boang atau berdiri sebagai satu suku yang tersendiri terpisah dari suku Pakpak.

11. Suku Sigulai

Suku Sigulai merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara. Suku ini terdapat di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan Salang.

12. Suku Tamiang

Penduduk utama kabupaten Aceh Tamiang adalah suku Melayu atau lebih sering disebut Melayu Tamiang. Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh. Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera lainnya.

Bahasa yang Ada di Aceh


Bahasa yang ada di Aceh ada 9 bahasa.

1. Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD.

2. Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas.

3. Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee.

4. Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas.

5. Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.

6. Bahasa Haloban
Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku.  Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.

7. Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.

8. Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang.  Bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.

9. Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.

Semoga bermanfaat untuk kita.
Sumber: http://nadaceh.wordpress.com/2012/02/01/macam-macam-bahasa-aceh

Legenda Lembah Geurutee

Hamparan pasir putih membentang luas sepanjang pantai Kuala Daya. Riak ombak dan hembusan angin yang mengayunkan pohon kelapa, memecahkan kesunyian kawasan teluk di kaki gunung Geurutee itu. Lamno, sebuah kota kecil di Kabupaten Aceh Jaya.

Berjarak sekitar 75 kilometer dari Banda Aceh, Lamno menyimpan sejuta sejarah. Sejak dahulu, Lamno terkenal sebagai kawasan asal gadis berkulit putih, bermata biru, berambut pirang mirip bangsa Eropa. Mereka dipercaya merupakan keturunan prajurit Portugis yang terdampar di kerajaaan daya di abad ke-15 silam.

Sejarah mencatat, sekitar tahun 1492-1511, kapal perang Portugis pimpinan Kapten Pinto yang kalah perang dengan Belanda di Selat Melaka, mengalami kerusakan saat berlayar dari Singapura. Kapal ini terdampar di pantai Kerajaan Daya. Raja Daya tak ingin membiarkan kapal itu lari dan mendarat tanpa izin di Kuala Daya. Laskar Rimueng Daya menghujam tembakan ke kapal itu dengan meriam besar hingga tenggelam.
Semua awak kapal dan tentara Portugis akhirnya menyerah dan meminta perlindungan. Sambil menunggu bala bantuan armada kapal dari negerinya menjemput mereka, pasukan Portugis menjadi tawanan. Awak kapal dikarantina dalam satu kawasan berpagar tinggi.

Hari demi hari mereka terus menunggu pertolongan. Tapi bantuan tak kunjung datang. Mereka pun menyerah pada Raja Daya. Raja Daya yang terkenal arif itu membebaskan mereka tanpa syarat harus menjadi budak.

Tentara Portugis itu kemudian berbaur dengan penduduk Lamno. Mereka diajarkan bertani, berbahasa, dan diperkenalkan adat istiadat dan budaya masyarakat Aceh. Para mantan tawanan perang itu kemudian juga dibolehkan untuk mempersunting gadis pribumi, tentu setelah memeluk islam. 

Menurut versi lain asal-usul "orang putih" di Lamno, mereka bukan terdampar, melainkan sengaja datang berdagang dengan penduduk Negeri Daya. Mereka membawa berbagai barang berharga, mulai dari porselen hingga senjata dan mesiu. Balik ke negerinya, mereka mengangkut rempah-rempah dan berbagai hasil bumi. Kala itu Daya merupakan bandar dagang yang ramai di Aceh. Para saudagar berdatangan dari India, Arab, Cina, dan Eropa tentu saja.

Hubungan baik antara Raja Daya dan para saudagar berkulit putih, yang tersiar sampai jauh, membuat gusar Raja Kerajaan Lamuri di Banda Aceh, Ali Mugayat Syah. Ali, yang ingin Pahlawan Syah memutuskan hubungan dengan pedagang Portugis, yang menurut dia kafir, lalu menyerang dan menguasai Daya.

Dialah yang kemudian menawan "orang-orang putih" itu di Meunanga. Dua tahun kemudian, Ali menguasai dua kerajaan lain: Pase dan Pedir (Pidie), lalu mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam dan mengangkat dirinya sebagai raja yang pertama (1511-1530). 

Melihat lokasi Lamno yang tak terlalu jauh dari jalur dagang Portugis—Atlantis, Selat Malaka, Pasifik—cerita tentang Daya sebagai pelabuhan dagang nan ramai di Aceh cukup masuk akal. Tempat itu mudah ditemukan.

Marco Polo melakukan itu pada 1292 dalam pelayarannya dari Cina menuju Persia, seperti bisa disimak dalam bukunya, Far East. Antara lain, Marco Polo mengatakan pernah berlabuh di enam bandar di sebelah utara Sumatera, termasuk Ferlec, Samudera, dan Lambri atawa Lamuri.

Catatan lebih tua bahkan menyebut perdagangan global di Aceh telah dimulai sejak abad ke-6 M. Para pedagang Cina, misalnya, meninggalkan catatan-catatan tentang sebuah kerajaan di bagian utara Sumatera, yang mereka beri nama Po-Li. Wilayah ini juga disebut-sebut dalam catatan kuno yang ditemukan di India, berasal dari awal abad ke-9 M.

Perdagangan di bandar-bandar Aceh bertambah maju setelah Portugis mengalahkan Malaka pada 1511, bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Takut pada Portugis, para pedagang dari Asia dan Arab mulai menghindari Selat Malaka dan beralih ke pelabuhan-pelabuhan di Aceh.  

Sejak itu, dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di wilayah itu menguat, dan mencapai puncaknya antara 1610 dan 1640. Karena hidup dalam komunitas terbatas selama beratus-ratus tahun, darah Portugis masih mengalir dalam diri sebagian masyarakat Lamno, terutama yang menetap di Kuala Daya dan Lambeuso serta Ujong Muloh.

Selain identik sebagai daerah asal gadis bermata biru, Lamno juga dikenal sebagai negeri para raja. Tokoh yang sering disebut misalnya Poeteumerom. Bernama lengkap Sultan Alaidin Ri’ayatsyah, dia lah yang membawa Islam menyebar ke kawasan itu.

Safrizal Tsabit, pemerhati budaya di Lamno mengatakan, Poetemeureuhom berasal dari kerajaan Samudra Pasai. Bersama rombongannya, dia mulai melakukan perjalanan mulai dari Desa Mareu mengikuti arah hulu sungai dan kemudian menyisir kawasan pesisir pantai. “Rombongan kemudian berhasil menaklukkan raja-raja kecil disepanjang aliran sungai,” katanya.

Di kawasan itu, awalnya terdapat kerajaan meliputi kerajaan Lamno, Keuluang Daya, Kuala Unga dan Kuala Daya. Setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil itu, Poteumeureuhom tak langsung membubarkannya. Namun Wilayah yang ditaklukinya diberikan hak otonomi dan tunduk dalam Kerajaan Daya atau yang dikenal dengan Meureuhom Daya. 

Sebagai bentuk terimakasih rakyat kepada sang raja, digelar lah upacara Peumeunap dan Sumeuleueng. Dalam upacara itu raja disuapi nasi yang berasal dari hasil panen terbaik. Upacara penabalan raja ini kemudian dikenang dan dilangsungkan sampai sekarang setiap tanggal 10 Zulhijjah atau pada hari raya kurban.
 
Sejarah juga mencatat sepeninggal Poteumeureuhom kondisi Kerajaan Daya sedikit goyah. Kerajaan daya yang kemudian juga tunduk pada kerajaan Aceh Darussalam, harus bertahan melawan portugis yang ingin menguasai seluruh wilayah. Pada 1511-1530 saat pergantian pucuk pimpinan di Kerajaan Aceh Darussalam dari Sulthan Syansu Syah kepada puteranya Sulthan Ali Mughayat Syah, perang Aceh dan portugis memuncak. Raja Mughayat Syah, terpaksa mengutus adiknya Raja Ibrahim memimpin perang di perairan Arun untuk membendung Portugis masuk menguasai pesisir Timur Aceh. Namun naas, Raja Muda itu tewas di Arun.

Untuk menggantikan pimpinan armada Aceh di Arun, Sulthan Ali Mughayat Syah mengirim menantu Poteumeureuhom, Raja Unzir yang kala itu memegang tampuk pimpinan Negeri Daya. Sejak itu Negeri Daya tak punya raja lagi. Pucuk pimpinan langsung dileburkan ke kerajaan inti Aceh Darussalam. Isteri Raja Unzir, Siti Hur kemudian diperintahkan mengurus roda pemerintahan di Kerajaan Daya sekaligus menjadi wakil Raja Aceh disana. Pada Bulan Jamadil Awal Tahun 1526, Raja Unzir pun tewas di Aru.

Pasca Siti Hur mangkat, pemerintah di Negeri Daya mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena karena seringkali terjadi perang saudara dan percecokan akibat selisih paham diantara sesama raja yang memperebutkan kekuasaan dan hasil pajak lada. Hal seperti itu terus terjadi dalam kuran waktu hampir dua abad lamanya. Sekitar 1711 sampai 1735, Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir berkuasa di Aceh Darussalam. Pemerintahnya tidak terlalu disukai oleh para petinggi kerajaan yang berpengaruh di Aceh saat itu. Sang raja pun tak memperoleh dukungan kuat di kalangan istana.

Untuk menghilangkan paradigma miring, Jamalul sering melakukan lawatan keluar daerah untuk mendapat simpati dari raja-raja kecil yang merupakan kesatuan terpisah di Kerajaan Aceh Darussalam. Sulthan Jamalul yang bergelar Poteu Jamaloy ini berkeinginan melakukan kunjungan khusus ke Negeri Daya untuk menertibkan situasi kerajaan yang semraut karena perang berebut pajak raja. Untuk memuluskan lawatannya, Poteu Jamaloy mempelajari tradisi dan adat budaya yang belaku di Negeri Daya. Akhirnya dia berhasil mempertegas kembali ketentuan “neuduek” awal yang pernah diprakarsai oleh Poteumeureuhom.

Mengenang jasa sang raja, makam Poteumeureuhom yang berada di perbukitan kecil di pesisir Desa Gle Jong kini dikeramatkan warga. Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga mengunjungi makam itu untuk berziarah atau melepas nazar. Berziarah ke makam dipercaya membawa berkah. Di Lamno, jejak-jejak masa jaya itu kian sulit dilacak. Dulu banyak peninggalan kuno seperti porselen dan mata uang dari berbagai kerajaan dunia ditemukan. Hampir semua peninggalan sejarah itu telah berpindah tangan.

Lamno kini juga tak lagi dikenal sebagai kota penghasil Lada. Hanya biji kopi Arabica Lamno yang masih punya nama. Sekarang pemburu Lada telah berganti dengan para pemburu sarang walet dari gua Teumiga dan gua Keuluang di bibir lembah Geurutee. Tsunami 2004 silam juga membuat Lamno nan masyur tak lagi berjaya karena jembatan penghubung antar kabupaten di Lambeusoi putus. Sejak enam tahun lalu itu warga terpaksa menggunakan rakit untuk menyebrang, karena jembatan juga belum rampung.

Bakat raya itu juga menewaskan 6.000 penduduk Lamno. Gadis bermata biru juga jarang dijumpai. Kini sepotong legenda mata biru dan kerajaan daya pun seperti bersembunyi di bibir lembah Geurutee. [] 





Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=9888172

Gua Seumantong

Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yeng memiliki kawasan karst yang unik dengan gua-gua yang masih menyimpan misteri untuk dijelajahi.Salah satunya Gua Seumantong yang terletak di desa Lambaro Biluy Kec.Darul Imarah Kab.Aceh Besar.
Berjarak hanya 1 jam dari kota banda Aceh dengan menggunakan sepeda motor dan berjalan kaki kita bisa sampai ke mulut gua yang belum pernah tersentuh oleh manusia ini. Ornamen-ornamen yang beragam dan lorong-lorong yang sempit membuat gua ini susah untuk ditelusuri. Gua dengan panjang 3 km ini memiliki aliran air yang sekarang sudah mulai mengering.
 Sumber: aceh.info/travel/objek-wisata/1111-menelusuri-lorong-lorong-gelap-gua-seumantong.html

Wisata Kreung Jreu

Kawasan hutan lindung pegunungan hutan Krueng Jreu, Indrapuri, di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), merupakan salah satu objek wisata alam di Kabupaten Aceh Besar. Krueng Jreu bukan hanya memiliki alam indah, tetapi juga memiliki sungai dengan air bersih yang mengalir deras diantara kaki perbukitan yang sulit ditemukan di daerah lain di NAD.

Objek wisata alam ini berada di kecamatan Indrapuri, sekitar 31 km dari kota Banda Aceh (sekitar 5 km dari jalan nasional Banda Aceh-Medan). Tempat ini dipadati pegunjung setiap hari libur yang kebanyakan warga kota Banda Aceh yang datang bersama sanak dan keluarga.
Namun disayangkan, pembenahan belum dilakukan oleh Pemda Aceh Besar, seperti jalan menuju ke lokasi yang masih berlubang dan berlumpur. Begitu juga sarana pendukung lainnya belum tersedia, sementara pengunjung diharuskan membeli tiket dari mobil pribadi Rp 5.000 dan kendaraan roda dua Rp1.000 per orang.
Selain sebagai objek wisata, alamnya yang masih alami membuat para pecinta alam menjadikan Krueng Jreu sebagai salah satu daerah petualangan mereka.
Sumber: aceh.info/travel/objek-wisata/790-pesona-wisata-krueng-jreu.html