Salah satu objek wisata yang paling terkenal di Lampulo adalah kapal di
atas rumah. Objek wisata itu merupakan saksi bisu sejarah bencana alam
gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Kapal nelayan ini dihempas gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut diatas rumah penduduk. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musbah tsunami tersebut, berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu.
Rapai adalah salah satu alat tabuh seni dari Aceh. Rapai (rebana)
terbagi kepada beberapa jenis permainan, rapai geleng salah satunya.
Rapai Geleng dikembangkan oleh seorang anonim Aceh Selatan. Permainan
Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap
keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam
lingkungan masyarakat. Tarian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat
dalam syair (lagu-lagu) yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari
unsur [tarian meuseukat.]
Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada
masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam
masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun
1965 di Pesisir Pantai Selatan. Saat itu Tarian Rapai Geleng di bawakan
pada saat mengisi kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu,
tarian ini dijadikan sarana dakwah karena dapat membuat daya tarik
penonton yang sangat banyak.
Jenis tarian ini
dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan tarian ini ada 12
orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah
sosialisasi kepada mayarakat tentang bagaimana hidup bermasyarakat,
beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
Saleum (Salam)
Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
Lani (penutup)
Nama Rapai diadopsi dari nama Syeik Ripai yaitu orang pertama yang
mengembangkan alat musik pukul ini. Syair yang dibawakan tergantung pada
Syahi. Hingga sekarang syair-syair itu banyak yang dibuat baru namun
tetap pada fungsinya yaitu berdakwah. Contoh : Rapai-i Geleng; Pesan
Perlawanan dalam Tarian Aceh Alhamdulilah Pujo Keu Tuhan Nyang
Peujeut Alam Langet Ngon Donya Teuma Seulaweut Ateuh Janjongan Panghulee
Alam Rasul Ambiya (Segala Puji kepada Tuhan yang telah menciptakan
langit dan dunia selawat dan salam pada junjungan penghulu alam Rasul
Ambiya) Nanggroe Aceh nyo Tempat loun lahee Bak Ujoung Pantee Pulo
Sumatra Dilee Baroo Kon Lam jaro Kaphe Jino Hana lee Aman
sentosa… (Daerah Aceh ini Tempat lahir ku di ujung pantai pulau sumatera
Dulu berada di tangan penjajah Kini telah aman dan sentosa)
Kostum yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah,
serempak menggeprak panggung dengan duduk bersimpuh. Gerakannya diikuti
tabuhan rapai yang berirama satu-satu, lambat, lama kemudian berubah
cepat di iringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh,
meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah
cepat. Pada dasarnya, ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri
dalam empat tingkatan; lambat, cepat, sangat cepat dan diam. Keempat
tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik masyarakat
yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan
pola perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi
kehidupan Agama, politik, sosial dan budaya mereka.
Pada gerakan lambat,
ritme gerakan tarian rapa-i geleng tersebut coba memberi pesan semua
tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran yang matang,
penyamaan persepsi dan kesadaran terhadap persoalan yang akan timbul di
depan sebagai akibat dari keputusan yang diambil merupakan sesuatu yang
harus dipertimbangkan dengan seksama. Maaf dan permakluman terhadap
sebuah kesalahan adalah sesuatu yang mesti di berikan bagi siapa saja
yang melakukan kesalahan. Pesan dari gerak beritme lambat itu juga
biasanya diiringi dengan syair-syair tertentu yang dianalogikan dalam
bentuk-bentuk tertentu. Sebagai contoh bisa tergambar dari nukilan syair
dari salah satu bagian tarian;
Meu nyo ka hana raseuki, yang bak bibi roh u lua Bek susah
sare bek sedeh hatee, tapie kee laen ta mita (Kalau sudah tak ada
rezeki, yang sudah di bibirpun jatuh ke luar jangan lah susah, jangalah
bersedih hati, mari kita pikirkan yang lain untuk di cari) Kata
“raseuki” yang bermakna “rezeki” dalam syair di atas, merupakan simbol
dari peruntungan. Bagi masyarakat Aceh, orang yang melakukan perbuatan
baik kepada mereka dimaknakan sebagai sebuah keberuntungan. makna
sebaliknya, ketika orang melakukan perbuatan jahat, maka masyarakat Aceh
mengartikan ketakberuntungan nasib mereka, dan ketakberuntungan itu
merupakan permaafan.
Gerakan beritme Cepat
adalah gerak kedua, sesaat pesan yang terkandung dalam gerakan beritme
lambat namun sarat makna usai dituturkan. Pada gerakan ini, pesan yang
disampaikan adalah pesan penyikapan ketika perbuatan jahat, yang
dimaknakan sebagai ketakberuntungan nasib, kembali dilakukan oleh orang
atau institusi yang sama. Penyikapan tersebut bisa dilakukan dalam
bentuk apapun, tapi masih sebatas protes keras belaka. Seperti bunyi
syair di bawah;
Hai Laot sa, ilak ombak meu Aloun kapai die eik troun meu
lumba Lumba hai bacut teuk, salah bukon sa Lah loun salah mu, lah poun
awai bak gata (Wahai Laut yang berombak mengayunkan kapal naik dan turun
sedikit lagi kemasukan air, itu bukan salah ku, engkaulah yang
mengawalinya)
Gerakan beritme cepat ini tak lama, kemudian disusul dengan gerakan
tari beritme sangat cepat mengisyaratkan chaos menjadi pilihan dalam
pola perlawanan tingkat ketiga. Sebuah perlawanan disaat protes keras
tak diambil peduli. Tetabuhan rapa-i pada gerakan beritme sangat cepat
inipun seakan menjadi tetabuhan perang yang menghentak, menghantam
seluruh nadi, membungkus syair menjadi pesan yang mewajibkan perlawanan
dalam bentuk apapun ketika harkat dan martabat bangsa terinjak-injak.
Cuplikan sajak “perang” nya (alm) Maskirbi yang biasa dilantunkan
menjadi syair dalam gerakan beritme cepat pada tarian rapai geleng ini
bisa menjadi contoh sederetan syair-syair yang dijadikan pesan. Doda idi hai doda idang Geulayang balang ka putoh talo Beureujang rayeuk banta sidang Jak tulong prang musoh nanggro
(doda idi hai doda idang –nyanyian nina bobo untuk anak- layangan
sawah telah putus talinya cepatlah besar wahai ananda pergilah, perangi
musuh negeri) Pada titiknya, semua gerakan tadi berhenti, termasuk
seluruh nyanyian syair. Ini merupakan gerakan akhir dari tarian. Gerakan
diam merupakan gerakan yang melambangkan ketegasan, habisnya semua
proses interaksi.
Tari Seudati berasal dari kata penggalan kata Syahadat, yang mempunyai
arti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain Allah, dan
Nabi Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori Tribal War
Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan
semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Pada zaman
kependudukan Belanda, tari ini sempat dilarang tapi kemudian dibolehkan
kembali oleh pemerintah Indonesia.
Sekilas Tari Seudati
Salah satu ciri tarian Seudati adalah dapat
dipertandingkan anatara dua kelompok yang dimainkan berganti-ganti untuk
dinilai pihak mana yang lebih unggul. Ini merupakan faktor pendorong
bagi kampung-kampung untuk menghidupkan kesenian ini ditempatnya. Orang
yang berniat masuk ke dalam agama Islam mereka harus mengucapkan kalimat
ini. Yaitu mengaku bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH dan Nabi MUHAMMAD
utusan ALLAH. Bila kita menyelidiki lebih jauh dapat diketahui bahwa
tarian ini pada mulanya bukanlah sebuah tarian, akan tetapi suatu retus
upacara agama dan dilaksanakan sambil duduk.
Diantara sederet kisah luka di Aceh, Rumoh Geudong (Pos Sattis,
-Kopassus) memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi
rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya Daerah
Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat jendral Wiranto
menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagi kasus
kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.
Rumoh Geudong terletak di
desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau
berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini
menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur
95,75-96,20 derajat.
Menurut alkisah dari penuturan ahli waris
Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta,
putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter
dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut
sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang
diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.
Namun,
Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung
yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya
informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh).
Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang
tidak jauh dari Rumoh Geudong.
Tidak berhenti begitu saja
perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih
lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap
Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung
Rumoh Geudong.
Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati
secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein,
Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah
Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar
(Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar
meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.
Pengurusan
Rumoh Geudong sekaran ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya
dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut
berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad
alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.
Laksana Peti Mati
Sebelum
Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak April
1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal aparat
militer pada saat itu hanya sementara, tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun para anggota
Kopassus yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer
sekaligus “rumah tahanan” dan tidak mau pindah lagi. Baru pada tahun
1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang ditandatangani
Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan pemilik rumah.
Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus halus,
sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering diganggu.
Memang
ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan berlumuran
darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis para penghuninya. Dari peti
mati inilah sering keluar makhlus halus yang berwujud harimau. Menurut
penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah dalam
peti tersebut merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh
Geudong yang meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh
Belanda.
Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di
tempat itu, misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur di rumah
atas (rumah Aceh), secara tiba-tiba ‘diturunkan’ ke rumah bawah. Pada
tahun 1992, sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang
anggota Kopassus yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi
didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.
Karena
beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan
beberapa bulan saja di Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan kemudian
terpaksa pindah ke Desa Amud. Namun, karena alasan kurang strategis
untuk sebuah pos operasi militer, anggota Kopassus memindahkan lagi
posnya dari Amud ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama
terkenal, Abu Kuta Krueng untuk memindahkan makhlus halus yang sering
menghantui mereka yang berada di dalam peti mati melalui sebuah acara
ritual kenduri (hajatan kecil).
Sebelum Ditarik Kopassus Masih Menculik
Selasa
18 agustus 1998, Dua anggota Kopassus masih mencoba menculik keluarga
salah seorang korban di Desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara,
kendati pasukannya sudah akan ditarik dari Pidie ke Lhokseumawe. Korban
penculikan itu adalah keluarga Mohammad Yunus Ahmad, korban penculikan,
28 Maret 1998 lalu yang hingga kini belum kembali. Rumah Yunus di Desa
Nibong, didatangi dua anggota Koppasus yang mengendarai mobil Toyota
Kijang bernomor polisi BK 1655 LR.
Kopassus semula hendak
mengangkut istri Yunus, Ny Zaubaidah Cut (37 tahun). Zaubaidah kebetulan
tak ada di rumah. Karena kecewa, Kopassus yang dari Pos Sattis Bilie
Aron itu, mengambil ibu Ny. Zaubidah dan seorang anak Yunus yang masih
berusia 15 tahun. Karena belum berhasil membawa Ny Zaubaidah, dua
anggota Kopassus itu memarkir mobilnya di simpang jalan Blang Malu
menunggu kedatangan Ny Zaubaidah.
Penduduk yang mengetahui
penculikan ibu, anak dan rencana penculikan Ny Zubaidah, menunggu Ny
Zaubaidah di persimpangan lainnya dan mencegat perempuan itu pulang ke
rumah. Penduduk kemudian membawa Ny Zaubaidah ke Sub Den-POM, Sigli.
Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo,
menelepon Koramil Mutiara agar mobil Kijang Kopassus itu ditahan.
Dua
anggota Koramil Mutiara dengan sepeda motor menahan dua anggota
Kopassus itu. Petugas Koramil itu kemudian menggiring mobil Kijang
Kopassus hingga ke Markas Koramil Mutiara. Namun, sebelum petugas POM
datang ke Koramil Mutiara, kedua angota Kopassus sudah kabur. "Saya akan
cari mereka itu. Saya belum tahu namanya. Bisa jadi mereka oknum, atau
cuak-cuak itu," kata Hartoyo.***
Tak Ada Lagi Jerit Kesakitan Di Rumoh Geudong
Warga
sekitar Rumoh Geudong (rumah gedung), markas Kopassus yang dipakai
sebagai tempat penahanan dan penyiksaan terhadap masyarakat Aceh, tidak
lagi mendengar teriakan kesakitan dan menyaksikan penyiksaan yang
dilakukan Kopassus. Perasaan lega masyarakat itu muncul seiring
ditariknya pasukan ABRI dari seluruh wilayah Aceh.
"Kami sudah
tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh
Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar
jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu-lagu dari tape
yang diputar keras-keras waktu penyiksaan," kata seorang warga Desa
Aron, tempat marksa Kopassus itu berada. Kepergian Kopassus dari Aron
disambut gembira masyarakat sekitar. Namun begitu, pemilik Rumoh Geudong
mengeluh. Kopassus meninggalkan tagihan jutaan rupiah untuk rekening
telepon.
"Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati,"
kata pemilik rumah itu. Selama operasi Jaring Merah dilancarkan di
wilayah itu, Pemda Pidie sudah cukup banyak mengeluarkan dana untuk
biaya operasional Kopassus. Dana yang sebenarnya milik rakyat Pidie itu
dipakai Kopassus untuk membayar rekening telepon, listrik, sewa rumah,
kendaraan, dan sebagainya. "Tragisnya dana milik rakyat itu dipakai
Kopassus untuk membunuh, menyiksa dan memperkosa rakyat," ujar seorang
warga. ***
Berakhirnya Tanda Luka
Pos Sattis atau
lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi masyrakat
Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang
mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya
Banda Aceh - Medan sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya
masyarakat di luar Aceh, bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan
kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara (Pa’i, -istilah TNI/Polri
bagi rakyat Aceh) telah melampaui akal sehat mereka.
Menurut
keterangan masyarakat setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM dicabut pada
tanggal 7 Agustus 1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah itu dibakar
massa), Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari
50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan
Pengacau Keamana-Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang
korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga
bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami
penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat
Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali
dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai
tahun 1998.
Saat Tim Komnas HAM melakukan penyisiran dan
penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti
seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian
telah remuk serta bercak-bercak darah pada dinding-dinding rumah.
Selain
itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di halaman
Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat sebagai tempat kuburan
massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan tulang jari,
tangan, rambut kepala dan tulang kaki serta serpihan-serpihan tulang
lainnya dari kerangka manusia.
Bagi masyarakat Aceh, kebencian
terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi
oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kejahatan
kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah dterjadi di rumah itu.
Tepat
tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang
dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut dalam
rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa. Tentu
hal ini sangat disayangkan, karena telah hilangnya bukti penanda
sejarah atau monumen historis adanya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan
yang telah terjadi di tempat ini.
Namun, lain lagi menurut ahli
waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah tersebut ternyata sejak tahun
1945, pernah dicoba baka oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu
gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah dan menyerang
para pelakunya. Dan entah kenapa setelah dijadikan sebagai Pos Sattis
oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.
Menurut
penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad: “Mungkin Rumoh
Geudong itu sendiri yang ‘minta dibakar’, karena tak ingin sejarahnya
ternoda. Kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong
sebagai tempat pembantaian. Sedangkan sejarah perjuangannnya bisa-bisa
dilupakan orang.”
Inilah kisah tragis Rumoh Geudong, pada masa
Belanda dan Jepang, rumah besar ini justru menjadi pusat perjuangan
membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia. Semoga kisah ini
menjadi sebuah sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh,
kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang bisa diambil
untuk anak cucu nantinya.
Suasana malam pusat pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah yang difoto dari puncak bangunan Hotel Bayu Hill Takengon. Dalam foto yang direkam Rabu (11/1/2012) malam ini juga tampak markas Pemadam Kebakaran (Damkar) Aceh Tengah. (Khalisuddin)